Pada awal tahun 2025, Indonesia memiliki 212 juta pengguna internet, setara dengan 74,6% dari 285 juta penduduknya. Namun, sekitar 72 juta orang masih offline, sebagian besar berada di daerah pedesaan dan terpencil. Dengan target ekonomi digital sebesar USD 130 miliar pada tahun 2025, inklusi digital tidak hanya strategis, tetapi juga penting. Konektivitas satelit merupakan solusi terukur yang dibutuhkan oleh masyarakat terpencil untuk bergabung dalam transformasi digital nasional.
Tantangan Konektivitas di Daerah Terpencil Indonesia
Geografi Indonesia yang luas, lebih dari 17.000 pulau yang meliputi hutan, pegunungan, dan kabupaten terpencil seperti Papua dan Maluku, menghambat penyebaran jaringan tradisional. Pada tahun 2024, broadband tetap hanya menjangkau 20% rumah tangga, dengan cakupan yang lebih rendah lagi di daerah terpencil. Penetrasi internet di daerah pedesaan mencapai sekitar 74%, dibandingkan dengan 82,2% di daerah perkotaan, yang menunjukkan kesenjangan yang cukup besar.
Angka-angka ini menyoroti bagaimana satelit tetap penting untuk mengatasi hambatan infrastruktur di daerah yang kurang terlayani.
Solusinya: Konektivitas Satelit untuk Pemberdayaan Pedesaan
Berdasarkan data tahun 2025 dari kementerian, sekitar 86% sekolah-setara dengan 190.000 institusi-dan 75% pusat kesehatan masih belum memiliki konektivitas internet. Selain itu, sekitar 32.000 kantor desa berada di daerah yang belum terjangkau. Akses broadband tetap di kalangan rumah tangga masih rendah, dengan tingkat penetrasi hanya 21,31%.
Internet satelit menawarkan jangkauan langsung bahkan di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh fiber dan seluler. Berkat LEO (Low Earth Orbit) dan HTS (High-Throughput Satellites), daerah-daerah terpencil kini dapat menikmati kecepatan seperti broadband, sebuah lompatan dalam akses digital.
LEO: Pendorong Digitalisasi Inklusif di Indonesia
Jaringan satelit Low Earth Orbit (LEO) merupakan lompatan besar dalam perjalanan Indonesia menuju inklusi digital. Tidak seperti sistem satelit tradisional, infrastruktur LEO generasi baru ini memberikan throughput berkapasitas tinggi yang dipasangkan dengan latensi sangat rendah, sehingga memungkinkan komunikasi dua arah yang lancar dan real-time. Karakteristik ini sangat penting untuk aplikasi seperti konsultasi video, platform berbasis cloud, ruang kelas virtual, dan sistem logistik pintar – semuanya penting untuk membuka potensi daerah yang kurang terlayani.
Salah satu contohnya adalah Starlink, yang mendapatkan lisensi operasi di Indonesia pada bulan Mei 2024. Layanan ini menawarkan kecepatan unduh hingga 220 Mbps dan latensi serendah 25 milidetik, sehingga cocok untuk aplikasi real-time, seperti telemedicine, diagnostik jarak jauh, e-learning, dan lainnya.
Kombinasi unik antara kecepatan kelas broadband dan latensi rendah ini membuat LEO ideal untuk konektivitas tingkat institusi dan perusahaan. LEO menjembatani kesenjangan di mana jaringan seluler tidak memadai dan fiber tidak praktis, sehingga memungkinkan akses yang merata ke infrastruktur digital di seluruh nusantara. Dalam konteks ini, LEO lebih dari sekadar teknologi, tetapi juga merupakan pendukung strategis bagi masa depan digital Indonesia.